Dzikir

, by Unknown



1.         Pengertian Dzikir
Kata "dzikr" menurut bahasa artinya ingat. Sedangkan dzikir menurut pengertian syariat adalah mengingat Allah SWT dengan maksud untuk mendekatkan diri kepadaNya. Kita diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah untuk selalu mengingat akan kekuasaan dan kebesaranNya sehingga kita bisa terhindar dari penyakit sombong dan takabbur. "Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya." (QS. Al-Ahzab : 41).
Berdzikir dapat dilakukan dengan berbagai cara dan dalam keadaan bagaimamanapun, kecuali ditempat yang tidaksesuai dengan kesucian Allah. Seperti bertasbih dan bertahmid di WC. "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Ali Imran : 191).
2.         Bentuk dan Cara Berdzikir
a.    Dzikir dengan hati, yaitu dengan cara bertafakur, memikirkan ciptaan Allah sehingga timbul di dalam fikiran kita bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa. Semua yang ada di alam semesta ini pastilah ada yang menciptakan, yaitu Allah SWT. Dengan melakukan dzikir seperti ini, keimanan seseorang kepada Allah SWT akan bertambah.
b.    Dzikir dengan lisan (ucapan), yaitu dengan cara mengucapkan lafazh-lafazh yang di dalammya mengandung asma Allah yang telah diajarkan oleh Rasulullah kepada ummatnya. Contohnya adalah : mengucapkan tasbih, tahmid, takbir, tahlil, sholawat, membaca Al-Qur'an dan sebagainya.
c.    Dzikir dengan perbuatan, yaitu dengan cara melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Yang harus diingat ialah bahwa semua amalan harus dilandasi dengan niat. Niat melaksanakan amalan-amalan tersebut adalah untuk mendapatkan keridhoan Allah SWT. Dengan demikian menuntut ilmu, mencari nafkah, bersilaturahmi dan amalan-amalan lain yang diperintahkan agama termasuk dalam ruang lingkup dzikir dengan perbuatan.
d.   "Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.(QS. Al-Baqarah : 152).
3.        Keutamaan Zikir
1.    Mengusir setan, menundukkan dan mengenyahkannya.
2.    Menghilangkan kesedihan dan kemuraman dari hati.
3.    Mendatangkan kegembiraan dan kesenangan dalam hati.
4.    Melapangkan rizki dan mendatangkan barakah.
5.    Membuahkan ketundukan, yaitu berupa kepasrahan diri kepada Allâh dan kembali kepada-Nya.
6.    Membuahkan kedekatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Seberapa jauh dia melakukan dzikir kepada Allâh, maka sejauh itu pula kedekatannya kepada Allâh, dan seberapa jauh ia lalai melakukan dzikir, maka sejauh itu pula jarak yang memisahkannya dari Allâh.
7.    Membuat hati menjadi hidup. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, "Dzikir bagi hati sama dengan air bagi ikan, maka bagaimana keadaan yang akan terjadi pada ikan seandainya berpisah dengan air ??? "
8.    Membersihkan hati dari karatnya, karena segala sesuatu ada karatnya dan karat hati adalah lalai dan hawa nafsu. Sedang untuk membersihkan karat ini adalah dengan taubat dan istighfar.
9.    Hamba yang mengenal Allâh, dengan cara berdo'adan berdzikir saat lapang, maka Allâh akan mengenalnya disaat ia menghadapi kesulitan
10.    Menyelamatkannya dari adzab Allâh sebagaimana yang dikatakan Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu dan dia memarfu'kannya “Tidak ada amal yang dilakukan anak Adam yang lebih menyelamatkannya dari adzab Allâh, selain dari dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla.
11.    Menyebabkan turunnya ketenangan, datangnya rahmat dan para Malaikat mengelilingi orang yang berdzikir, sebagaimana yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
12.    Menyibukkan lisan dari melakukan ghibah, adu domba, dusta, kekejian dan kebathilan.
13.    Dzikir memberikan rasa aman dari penyesalan di hari kiamat. Karena majlis yang didalamnya tidak ada dzikir kepada Allâh, maka akan menjadi penyesalan bagi pelakunya pada hari kiamat.
14.    Dzikir merupakan ibadah yang paling mudah, namun paling agung dan paling utama. Sebab gerakan lidah merupakan gerakan anggota tubuh yang paling ringan dan paling mudah. Andaikan ada anggota tubuh lain yang harus bergerak, seperti gerakan lidah selama sehari semalam, tentu ia akan kesulitan melaksanakannya dan bahkan tidak mungkin.
4.        Adab dalam Berdzikir
Setelah mengetahui keutamaan berdzikir, hendaknya seorang muslim menghiasi hari-harinya dengan dzikrullah. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Hendaknya engkau senantiasa membasahi lidahmu dengan dzikrullah.” (HR. Ahmad). Di dalam berdzikir, seorang muslim dianjurkan untuk melakukannya dengan adab-adab sebagai berikut:
a.     Berdzikir dengan suara yang lemah lembut dan penuh kekhusyu’an.
Allah berfirman (yang artinya),“Dan berdzikirlah mengingat Tuhanmu dalam dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raaf: 205).
b.   Tidak berteriak dan mengeraskan suaranya.
Dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Tatkala orang-orang meninggikan suara mereka dalam berdo’a di sebuah perjalanan, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menegur mereka dengan bersabda: “Wahai manusia, sayangilah diri-diri kalian! Sesungguhnya kalian tidak sedang berdo’a kepada sesuatu yang bisu dan jauh. Akan tetapi Dia adalah Dzat yang Maha Mendengar lagi Dekat, bahkan lebih dekat dengan kalian daripada leher tunggangan kalian.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
c.    Jika berada dalam sebuah jama’ah (baik jama’ah shalat, jama’ah pengajian, maupun jama’ah dalam kendaraan), maka hendaknya masing-masing berdzikir dengan suaranya sendiri-sendiri, dan tidak dilakukan secara berjama’ah (satu suara/koor/dipimpin).  Dalilnya adalah dari Anas bin Maalik radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami berangkat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di waktu pagi hari itu (hari Arafah pada haji Wada’ -pen) dari Mina menuju Arafah. Di antara kami ada yang bertakbir, ada pula yang bertalbiyah. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya.”(HR. Ibnu Maajah.Syaikh Al-Albaany berkata, “Shahih”). Seandainya melakukan dzikir dengan cara berjama’ah disyari’atkan, tentunya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling tepat mencontohkan hal itu kepada umatnya dan seharusnya melarang para sahabat pada waktu itu karena ketidakkompakan mereka dalam berdzikir.
d.   Jika dzikir yang dilakukan berupa membaca Al-Qur’an maka tidak dibolehkan membacanya dalam keadaan junub (hadats besar), baik membacanya dengan hafalan apalagi membacanya dengan membuka mushaf.
Dari ‘Ali bin Abi Thaalib radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi jamban untuk membuang hajatnya. Setelah keluar dari jamban, lalu beliau makan daging dan roti bersama kami, dan membaca Al-Qur’an. Tidaklah menghalangi beliau dari membaca Al-Qur’an kecuali ketika beliau dalam keadaan junub.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih).
e.    Hendaknya berdzikir dengan penuh keikhlasan hanya mengharap pahala dan balasan dari Allah saja.
Allah berfirman, (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5).




5.    Dzikir Berjamaah
a.    Hukum Dzikir Berjamaah Setelah Shalat Fardhu Menurut 4 Madzhab

Menurut Para Ulama Madzhab Hanafiyah

( قَوْلُهُ لَا بَأْسَ لِلْإِمَامِ ) أَيْ وَالْمُقْتَدِينَ ( قَوْلُهُ عَقِبَ الصَّلَاةِ ) أَيْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ قَالَ فِي الْقُنْيَةِ إمَامٌ يَعْتَادُ كُلَّ غَدَاةٍ مَعَ جَمَاعَتِهِ قِرَاءَةَ آيَةِ الْكُرْسِيِّ وَآخِرَ الْبَقَرَةِ – ، وَ { شَهِدَ اللهُ } – وَنَحْوَهَا جَهْرًا لَا بَأْسَ بِهِ وَالْإِخْفَاءُ أَفْضَلُ ا هـ . وَتَقَدَّمَ فِي الصَّلَاةِ أَنَّ قِرَاءَةَ آيَةِ الْكُرْسِيِّ وَالْمُعَوِّذَاتِ وَالتَّسْبِيحَاتِ مُسْتَحَبَّةٌ وَأَنَّهُ يُكْرَهُ تَأْخِيرُ السُّنَّةِ إلَّا بِقَدْرِ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ إلَخْ ( قَوْلُهُ قَالَ أُسْتَاذُنَا ) هُوَ الْبَدِيعُ شَيْخُ صَاحِبِ الْمُجْتَبَى وَاخْتَارَ الْإِمَامُ جَلَالُ الدِّينِ إنْ كَانَتْ الصَّلَاةُ بَعْدَهَا سُنَّةٌ يُكْرَهُ وَإِلَّا فَلَا
(Tidak mengapa bagi imam) dan makmum (sesudah shalat) yakni shalat subuh, Beliau berkata dalam Al Qunyah : Imam yang mempunyai kebiasaan setiap pagi beserta jama’ahnya membaca ayat kursi dan akhir al baqoroh dan Syahidallohu dan semacamnya, tidak mengapa baginya membacanya dengan keras, sedang membaca dengan pelan lebih utama. Telah diterangkan dalam bab shalat bahwasannya membaca ayat kursi, al ikhlash, dan mu’awwidzatain juga bacaan-bacaan tasbih adalah sunnah, dan bahwasannya dimakruhkan mengakhirkan shalat sunnah kecuali hanya dengan sekedar membaca “Allohumma antas Salaam …dst (guru kami berkata) -dia adalah Al Badi’ yang merupakan guru dari pengarang kitab Al Mujtabaa- beliau berkata : Al Imaam Jalaaluddin memilih (pendapat yang mengatakan) “Jika setelah sholat fardhu ada shalat sunnah (ba’diyah) maka hukumnya makruh, jika tidak ada shalat sunnah setelah shalat fardhu maka tidak makruh”. (Roddul Mukhtar, vol 27. hal 96)

Menurut Madzhab Malikiyah

( وَ ) جَازَ ( رَفْعُ صَوْتِ مُرَابِطٍ ) وَحَارِسِ بَحْرٍ ( بِالتَّكْبِيرِ ) فِي حَرَسِهِمْ لَيْلًا وَنَهَارًا ؛ لِأَنَّهُ شِعَارُهُمْ ، وَمِثْلُهُ رَفْعُهُ بِتَكْبِيرِ الْعِيدِ وَبِالتَّلْبِيَةِ ، وَكَذَا التَّهْلِيلُ وَالتَّسْبِيحُ الْوَاقِعُ بَعْدَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ أَيْ مِنْ الْجَمَاعَةِ لَا الْمُنْفَرِدِ ، وَالسِّرُّ فِي غَيْرِ ذَلِكَ أَفْضَلُ وَوَجَبَ إنْ لَزِمَ مِنْ الْجَهْرِ التَّشْوِيشُ عَلَى الْمُصَلِّينَ أَوْ الذَّاكِرِينَ ( وَكُرِهَ التَّطْرِيبُ ) أَيْ التَّغَنِّي بِالتَّكْبِيرِ .
(Dan) boleh (mengeraskan suara bagi Murobith/pemimpin pasukan) dan penjaga pantai (membaca takbir) dalam wilayah penjagaan mereka baik malam atau siang hari, karena hal tersebut menjadi tanda bagi mereka. Dan Begitu juga dengan takbir hari raya, talbiyah, tahlil, tasbih yang terjadi setelah sholat lima waktu dalam berjama’ah bukan ketika sholat sendiri. Sedang membaca pelan pada selain yang tersebut lebih baik, bahkan wajib (memelankan suara) jika kerasnya suara dapat mengakibatkan gangguan bagi orang yang sholat atau orang yang berdzikir. (dan dimakruhkan) melagukan bacaan takbir. (Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, vol 7. hal 179)

      Menurut Madzhab Syafi’iyah

( قال الشَّافِعِيُّ ) وَهَذَا مِنَ الْمُبَاحِ لِلْاِمَامِ وَغَيْرِ الْمَأْمُومِ قَالَ وَأَيُّ إمَامٍ ذَكَرَ اللهَ بِمَا وَصَفْت جَهْرًا أو سِرًّا أو بِغَيْرِهِ فَحَسَنٌ وَأَخْتَارُ لِلْاِمَامِ وَالْمَأْمُومِ أَنْ يَذْكُرَا اللهَ بَعْدَ الِانْصِرَافِ مِنَ الصَّلَاةِ وَيُخْفِيَانِ الذِّكْرَ إلَّا أَنْ يَكُونَ إمَامًا يَجِبُ أَنْ يُتَعَلَّمَ مِنْهُ فَيَجْهَرَ حَتَّى يَرَى أَنَّهُ قَدْ تُعُلِّمَ مِنْهُ ثُمَّ يُسِرُّ
(Imam As Syafi’iy berkata) Dan ini adalah termasuk perkara mubah bagi imam dan selain makmum. Dan siapapun imam yang berdzikir menyebut Allah dengan dzikir yang telah aku sifati atau dengan dzikir yang lain, baik dengan keras maupun pelan, maka hal itu baik. Dan aku memilih untuk imam dan makmum hendaknya mereka berdzikir kepada Allah setelah selesai dari sholat seraya memelankan dzikir-nya, kecuali bagi imam yang berkewajiban dijadikan belajar (oleh makmum) maka imam mengeraskan suaranya sehingga sang imam berpendapat bahwa makmum sungguh telah belajar darinya, baru kemudian imam memelankan (dzikirnya). (Al Umm, vol 1. hal 127)
(بَابُ الْأَذْكَارِ بَعْدَ الصَّلاَةِ) أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى اِسْتِحْبَابِ الذِّكْرِ بَعْدَ الصَّلاَةِ ، وَجَاءَتْ فِيْهِ أَحَادِيْثُ كَثِيْرَةٌ صَحِيْحَةٌ فِي أَنْوَاعٍ مِنْهُ مُتَعَدِّدَةٍ ، فَنَذْكُرُ طَرَفًا مِنْ أَهَمِّهَا.
(Bab dzikir ba’da shalat) Para ulama telah bersepakat disunnahkannya dzikir ba’da shalat, dan telah ada hadits-hadits yang cukup banyak dan sohih (yang menjelaskan) macam-mazam dzikir. (Al Adzkar, vol 1. hal 70)
فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ السُّنَّةُ في أَكْثَرِ الْأَدْعِيَةِ وَالْأَذْكَارِ الْإِسْرَارُ إلَّا لِمُقْتَضٍ وَعِبَارَةُ شَرْحِي لِلْعُبَابِ مَعَ مَتْنِهِ وَيُسَنُّ الدُّعَاءُ وَالذِّكْرُ سِرًّا وَيَجْهَرُ بِهِمَا بَعْدَ السَّلَامِ الْإِمَامُ لِتَعْلِيمِ الْمَأْمُومِينَ فإذا تَعَلَّمُوا أَسَرُّوا
Ibnu Hajar Al Haitami ketika ditanya tentang mengeraskan suara dalam berdzikir sesudah shalat hingga mengganggu orang yang sedang shalat, beliau menjawab dengan pernyataannya : “Yang sunnah dalam banyak do’a dan dzikir adalah dengan memelankan suara kecuali ada hal yang mendorong (untuk mengeraskan). Redaksi penjelasanku atas kitab Al ‘Ubaab berikut matannya adalah : “Dan disunnahkan berdo’a dan dzikir dengan pelan, sedang Imam dapat mengeraskan do’a dan dzikir sesudah salam untuk mengajari makmum, selanjutnya jika makmum telah belajar maka mereka (imam dan makmum) memelankan (dzikir-nya). (Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro, vol 1. hal 70)
فَصْلٌ : وَأَمَّا بَعْدَ السَّلَامِ مَا يُقَالُ بَعْدَ السَّلَامِ مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللهِ بْنُ الْحَارِثِ عَنْ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا سَلَّمَ أَحَدُكُمْ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ ، وَمِنْكَ السَّلَامُ ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ  وَرَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي أَدْبَارِ الصَّلَوَاتِ : ” أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَجْمَعَ فِي دُعَائِهِ بَيْنَ الْخَبَرَيْنِ يَبْدَأُ بِدُعَاءِ ابْنِ الزُّبَيْرِ ، ثُمَّ بِدُعَاءِ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، ثُمَّ إِنْ أَحَبَّ أَنْ يَزِيدَ عَلَى ذَلِكَ مَا شَاءَ مِنْ دِينٍ وَدُنْيَا فَعَلَ ، وَيُسِرُّ بِدُعَائِهِ وَلَا يَجْهَرُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ إِمَامًا يُرِيدُ تَعْلِيمَ النَّاسِ الدُّعَاءَ ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْهَرَ بِهِ قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا [الْإِسْرَاءِ] . قَالَ الشَّافِعِيُّ : مَعْنَاهُ لَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ جَهْرًا لَا يُسْمَعُ ، وَلَا تُخَافِتْ بِهَا إِخْفَاتا لَا يُسْمَعُ
Fasal : Adapun setelah salam, yakni tentang apa yang dibaca setelah salamnya shalat, maka Abdulloh bin Al Harits meriwayatkan dari ‘Aisyah –rodhiyallohu ‘anha- bahwasannya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jika seseorang dari kalian selesai salam dari sholatnya hendaknya ia berdo’a ; “Allohumma Antas Salaam Waminkas Salaam Tabaarokta Yaa Dzal Jalaali Wal Ikrrom”. Abdulloh bin Az Zubair meriwayatkan; Bahwasannya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam disetiap selesai dari shalat-nya beliau membaca : “Asyhadu an laa ilaaha illallohu wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syaiin qodiir.” Dan dianjurkan (bagi orang yang selesai shalat) menggabungkan dua hadits tersebut dalam do’anya, dimulai dengan riwayat Ibnu Zubair kemudian riwayat ‘Aisyah –rodhiyallohu ‘anha-, selanjutnya jika ia ingin menambahkan-nya dengan do’a yang ia inginkan baik berupa urusan agama atau urusan dunia maka ia dapat melakukannya. Dan hendaknya ia memelankan suara do’anya dan tidak mengeraskannya, kecuali ia menjadi imam yang bertujuan ingin mengajari manusia dengan do’a tersebut, maka tidaklah mengapa mengeraskan do’anya. Alloh Ta’aala berfirman : “dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam sholat dan janganlah (pula) merendahkannya “ (Al Isroo’ : 110) Imam As Syafi’iy berkata : “Maksudnya adalah; Jangan engkau mengeraskan suaramu dalam shalat dengan terlalu keras hingga tidak dapat didengar, dan janganlah (pula) engkau merendahkannya dengan terlau rendah hingga tidak didengar.” (Al Haawi Fi Fiqhis  Syafi’iy, vol 2. hal 147)
Menurut Madzhab Hanabilah / Hanbaliyah
(فَصْلٌ) وَيُسْتَحَبُّ ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى وَالدُّعَاءُ عَقِيْبَ الصَّلاَةِ وَالْاِسْتِغْفَارِ كَمَا وَرَدَ فِي الْاَخْبَارِ فَرَوَي اَلْمُغِيْرَةُ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ : لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ ” متفق عليه،
(Fasal) Dan disunnahkan berdzikir kepada Allah, berdo’a dan istighfar sesudah sholat sebagaimana yang ada dalam beberapa hadits. Al Mughiroh meriwayat-kan, ia berkata : “Adalah Nabi  -shollallohu ‘alaihi wasallam- disetiap selesai sholat maktubah beliau membaca : “Laa ilaaha illallohu wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syaiin qodiir, Allohumma laa maani’a limaa a’thoita walaa mu’thiya limaa mana’ta walaa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu” (Muttafaq ‘Alaih) (As Syarhul Kabiir Libni Qudamah, vol 1. hal 70)
فَصْلٌ : وَيُسْتَحَبُّ ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى ، وَالدُّعَاءُ عَقِيبَ صَلَاتِهِ ، وَيُسْتَحَبُّ مِنْ ذَلِكَ مَا وَرَدَ بِهِ الْأَثَرُ ، مِثْلُ مَا رَوَى الْمُغِيرَةُ ، قَالَ : { كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ : لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ }
(Fasal) Dan disunnahkan berdzikir kepada Allah, dan berdo’a sesudah sholatnya, dan dianjurkan pula hendaknya diantara dzikir dan do’a yang dibaca terdapat bacaan yang telah ada dalam atsar, seperti bacaan dan do’a yang diriwayatkan Al Mughiroh, ia berkata : “Adalah Nabi  -shollallohu ‘alaihi wasallam- disetiap selesai shalat maktubah beliau membaca :Laa ilaaha illallohu wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syaiin qodiir, Allohumma laa maani’a limaa a’thoita walaa mu’thiya limaa mana’ta walaa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu” (Al Mughni,  vol. 2, hlm. 471)
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulah bahwa hukum dzikir berjamaah setelah shalat fardhu tidaklah haram (bid’ah) sebagaimana pendapat sebagian kecil umat Islam. Bahkan  penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa hukum dzikir berjamaah setelah shalat fardhu itu hukumnya sunnah.

b.   Hukum Dzikir Berjamaah Dengan Suara Keras

Berkumpul di suatu tempat untuk berdzikir bersama hukumnya adalah sunnah dan merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hadits-hadits yang menunjukkan kesunnahan perkara ini banyak sekali, diantaranya.
مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوْا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لَا يُرِيْدُوْنَ بِذَالِكَ إلَّا وَجْهَهُ تَعَالَى إلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُوْمُوْأ مَغْفُوْرًا لَكُمْ –أخرجه الطبراني

Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk berdzikir dan tidak mengharap kecuali ridla Allah kecuali malaikat akan menyeru dari langit: Berdirilah kalian dalam keadaan terampuni dosa-dosa kalian.
(HR Ath-Thabrani)

Sedangkan dalil yang menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara umum di antaranya adaah hadits qudsi berikut ini. Rasulullah SAW bersabda:
يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَناَ عِنْدَ ظَنِّي عّبْدِي بِي وَأنَا مَعَهُ عِنْدَ ذَكَرَنِي، فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرًا مِنْهُ –منقق عليه

Allah Ta’ala berfirman: Aku kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadapku, dan aku senantiasa menjaganya dan memberinya taufiq serta pertolongan kepadanya jika ia menyebut namaku. Jika ia menyebut namaku dengan lirih Aku akan memberinya pahala dan rahmat dengan sembunyi-sembunyi, dan jika ia menyebutku secara berjamaah atau dengan suara keras maka aku akan menyebutnya di kalangan malaikat yang mulia. (HR Bukhari-Muslim)

Dzikir secara berjamaah juga sangat baik dilakukan setelah shalat. Para ulama menyepakati kesunnahan amalan ini. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW ditanya:
أَيُّ دُعَاءٍ أَسْمَعُ؟

 “Apakah Doa yang paling dikabulkan?”

Rasulullah menjawab:
جَوْفُ اللَّيْلِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ – قال الترمذي: حديث حسن

“Doa di tengah malam, dan seusai shalat fardlu." (At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan.

Dalil-dalil berikut ini menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara berjamaah setelah shalat secara khusus, di antaranya hadits Ibnu Abbas berkata:
كُنْتُ أَعْرِفُ إنْقِضَاءِ صَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ – رواه البخاري ومسلم

Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)”. (HR Bukhari Muslim)
أَنَّ رَفْعَ الصّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ – رواه البخاري ومسلم

Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jamaah selesai shalat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah.
(HR Bukhari-Muslim)

Dalam sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim juga, Ibnu Abbas mengatakan:
كنت أعلم إذا انصرفوا بذالك إذا سمعته – رواه البخاري ومسلم

Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat dengan mendengar suara berdikir yang keras itu. (HR Bukhari Muslim)

Hadits-hadits ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi tentunya tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya.

Sumber:


0 komentar:

Posting Komentar