SEJARAH DAN PERKEMBANGAN 4 MAZHAB ISLAM SUNNI WAL JAMAAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Belakangan ini penelitian tentang
sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak, karena pertumbuhan
dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran keagamaan itu
sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai di manapun dan
kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami
modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari perkembangan fiqih secara
sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi pemikiran Islam, atau lebih
tepatnya actual working bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi
pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan secara amat dominan, terutama fiqih
abad pertengahan mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa
ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan
fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan
kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.
Jika kita telusuri sejak saat
kehidupan Nabi Muhammad saw, para sejarawan sering membaginya dalam dua priode
yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Pada periode pertama risalah kenabian
berisi ajaran-ajaran akidah dan akhlaq, sedangkan pada periode kedua risalah
kenabian lebih banyak berisi hukum-hukum. Dalam mengambil keputusan masalah
amaliyah sehari-hari para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri, karena
mereka dapat langsung bertanya kepada Nabi jika mereka mendapati suatu masalah
yang belum mereka ketahui.
Sampai dengan masa empat khalifah
pertama hukum-hukum syariah itu belum dibukukan, dan belum juga diformulasikan
sebagai sebuah ilmu yang sistematis. Kemudian pada masa-masa awal periode
tabi'in (masa Dinasti Umayyah) muncul aliran-aliran dalam memahami hukum-hukum
syariah serta dalam merespon persoalan-persoalan baru yang muncul sebagai
akibat semakin luasnya wilayah Islam, yakni ahl al-hadis dan ahl al-ra'y. Aliran
pertama, yang berpusat di Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak menggunakan hadis dan
pendapat-pendapat sahabat, serta memahaminya secara harfiah. Sedangkan aliran
kedua, yang berpusat di Irak, banyak menggunakan rasio dalam merespons
persoalan baru yang muncul. Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum tersebut
merupakan sebuah hasil penelitian (ijtihad), hal ini tidak perlu dipandang
sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, akan tetapi sebaliknya
bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak.
Pada makalah ini, akan dijelaskan
tentang pengertian mazhab, latar belakang dan sejarah awal kemunculan
mazhab-mazhab dalam fiqih, terkhusus pada empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi,
Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali serta beberapa hal lain yang
berhubungan dengan keempat mazhab tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian mazhab?
2. Bagaimana
fakta-fakta yang menimbulkan mazhab?
3. Bagaimana
perkembangan keempat mazhab?
4. Bagaimana perkembangan ushul fiqh?
5. Bagaimana persamaan
dan perbedaan sholat menurut 4 mazhab?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian mazhab.
2.
Mengetahui
fakta-fakta yang menimbulkan mazhab.
3.
Mengetahui perkembangan keempat
mazhab fiqh.
4.
Mengetahui
perkembangan ushul fiqh.
5.
Mengetahui persamaan dan perbedaan sholat menurut 4
mazhab.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mazhab
Istilah mazhab pada umumnya dipahami
mengandung dua arti, pertama cara berpikir atau metode berijtihad yang
diterapkan oleh imam atau mujtahid untuk menentukan hukum suatu kasus
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Kedua, fatwa atau pendapat imam atau mujtahid
tentang suatu kasus atau peristiwa yang diambil dari Al-Qur’an dan
Hadits. Yang pertama disebut secara populer dalam kalangan NU sebagai
mazhab Manhaji, sedangkan yang kedua disebut mazhab Qawli. Kyai Muchith merinci
secara lebih jelas pengertian mazhab sebagai berikut:
1.
Metode
ijtihad yang dirumuskan sendiri, berwujud kaidah-kaidah ushul fiqh, qawaidul
ahkam, qawaidul fiqhiyah, dan sebagainya.
2.
Proses dan
prosedur ijtihad yang dilakukan sendiri.
3.
Produk
ijtihadnya sendiri yang sudah meliputi berbagai bidang permasalahn (tidak hanya
satu atau dua kasus) (Effendi, 2010).
Berdasarkan pengertian mazhab
tersebut di atas, Kyai Muchith membedakan Ahlul Mazhab yakni mereka yang
menganut mazhab dalam tiga tingkatan:
1.
Bermazhab
dalam tingkat mengikuti produk (hasil) ijtihad orang lain, sama sekali tidak
mampu berijtihad sendiri, bahkan tidak tahu dalil yang dipergunakan.
2.
Bermazhab
dalam tingkat sudah mampu berijtihad sendiri secara sangat terbatas, umpamanya
santri yang sudah mampu menguasai problematika fardhunya wudhu, mulai dari
dalil-dalilnya, pengelolaan dalil, serta penyimpulannya.
3.
Bermazhab
dalam tingkat sudah mampu berijtihad sendiri dengan mempergunakan metode dan
pola pemahaman yang diciptakan oleh tokoh lain, seperti imam Ghozali yang
kemampuan berijtihadnya tidak pantas diragukan lagi, tetapi dia masih disebut
bermazhab syafi'i karena ijtihadnya masih menggunakan metode yang diciptakan
oleh imam syafi'i (Effendi, 2010).
B.
Fakta-Fakta
yang Menimbulkan Mazhab
Di masa pemerintahan Umar bin
Khattab, daerah wilayah daulah Islam bertambah luas. Hal itu menyebabkan
tersebarnya para sahabat dan para tabi'in ke berbagai kota untuk menjadi hakim
dan mufti. Masyarakat setempat belajar kepada mereka tentang urusan agama, dan
dari mereka pulalah masyarakat mengambil Al-Qur’an dan As Sunah dan cara
memahaminya (Ash Shiddiqy, 1967).
Walaupun di kala itu telah mempunyai
kebudayaan lain yang mempengaruhi masyarakat, namun para fuqaha dapat pula
menimbulkan pengaruh baru. Karena itu, kita mendapati dua fakta yang
mempengaruhi perkembangan fiqh di daerah itu. Pertama, millieu dan kedua,
sistem yang ditempuh oleh fuqaha dalam memberikan dan memetik hukum (Ash
Shiddiqy, 1967).
Madrasah-madrasah itu dalam
kenyataannya mempunyai dua saluran yang berbeda. Pertama, Madrasah Hadits yang
sifatnya membatasi diri dengan sekadar yang ada di dalam nash. Kedua, Madrasah
Ra'ju, yang sifatnya menyelami keadaan masyarakat dan meneliti illah, kausalita,
dan hukum (Ash Shiddiqy, 1967).
Menurut kenyataan sejarah, mazhab
Hanafi adalah permulaan mazhab jama'y di Irak yang memegang panji ra'ju dan
mazhab Maliki di hijaz adalah permulaan mazhab jama'y (hukum-hukum yang
merupakan hasil kebulatan pendapat bersama) yang memegang panji hadits. Kedua-duanya timbul dalam satu masa dan
mempunyai pengaruh yang sangat besar di kalangan umat (Ash Shiddiqy,
1967).
C.
Mazhab Ahli
Sunnah yang Masih Berkembang
Mazhab ahli sunnah yang sifatnya
jama'iyah, kolektif, ketika mulai tumbuh, berbeda satu sama lainnya, menurut
ukuran jauh dekatnya kepada pemakaian ra'yi atau rasio. Berdasarkan ini, mazhab
ahli sunnah dibagi menjadi dua, yaitu madrasah Ra'yi dan madrasah Hadits.
Kemudian, mazhab keduanya ini berangsur-angsur kian lama kian rapat, sehingga
tidak ada lagi pemisahan di antara keduanya (Ash Shiddiqy, 1967).
Para penulis sejarah fiqh berlainan
pendapat dalam menggolongkan mazhab ini. Ibnu Qutaibah menggolongkan Malik,
Syafi'i, dan Abu Hanifah ke dalam golongan Ahlurra'yi. Asysyahrastany
menggolongkan Abu Hanifah ke dalam golongan Ahlurra'yi. Sedangkan Maliki,
Syafi'i, Ahmad dan Dawud ke dalam golongan ahlul hadits. Di bawah ini, akan
dijelaskan beberapa mazhab (Ash Shiddiqy, 1967).
1.
Mazhab
Hanafi
Kufah, merupakan tempat kediaman
kebanyakan para fuqaha Islam. Umar bin Khattab telah mengutus Abdullah ibn
Mas'ud kesana pada tahun 32 H. Sebagai guru dan hakim, beliau juga seorang ahli
hadits dan fiqh. Kemudian termasyhurlah diantara murid-muridnya dan masyhurlah
pula murid-muridnya dan murid dari murid-muridnya, seperti Alqamah, Masruq,
Hammad (gurunya Abu Hanifah), dsb.
Hammad ibn Sulaiman menyatukan fiqh
An Nakha'y dengan fiqh Asy Sya'by dan memberikan fiqh yang sudah dicampur itu
kepada muridnya diantaranya yaitu Abu Hanifah An Nu'man yang kemudian
menggantikan gurunya setelah meninggal sebagai pemegang madrasah. Diantara
murid Abu Hanifah yang terkenal ialah Abu Yusuf, Muhammad, Zufar dan Hasan ibn
Zijad. Mereka bersama Abu Hanifah membentuk mazhab Hanafi pada abad kedua
hijrah di akhir pemerintahan Amawiyah.
Abu Hanifah mempunyai kesanggupan
yang tinggi dalam menggunakan mantik dan menetapkan hukum Syara dengan Qiyas
dan Istihsan. Abu Hanifah adalah seorang imam yang terkemuka dalam bidang Qiyas
dan Istihsan. Beliau menggunakan Qiyas dan Istihsan apabila beliau tidak
memperoleh nash dalam kitabullah, sunatullah atau ijma. Dasar-dasar hukum fiqh
mazhab beliau adalah Al-Qur’an, As Sunah. Ijma, Qiyas, Istihsan.
Murid-murid beliau yang paling
terkenal ialah:
a.
Abu Yusuf
Ya'kub ibn Ibrahim al Anshary al Kufu (113 H-182 H)
Beliaulah yang telah berjasa besar
dalam mengembangkan mazhab Abu Hanifah. Pendapat-pendapat beliau dapat
dipelajari dalam kitab fiqh Hanafi. Kitabnya yang ditulis dengan tangannya
sendiri yang sampai ke tangan kita sekarang ialah kitab Al Kharaj.
b.
Muhammad ibn
al Hasan asy Syabany
Beliau tidak lama menyertai Abu
Yusuf dan pernah belajar pada Imam Malik, tetapi beliaulah yang telah berusaha
membukukan mazhab Hanafi. Kitab-kitab yang beliau bukukan ada dua macam, yaitu:
1)
Yang
diriwayatkan kepada kita oleh orang-orang kepercayaan. Kitab-kitab ini
dinamakan kitab Dhahirriwayah atau Masa Ilul Ushul.
2)
Yang
diriwayatkan kepada kita oleh orang-orang yang tidak kepercayaan yang dinamakan
Masailun Nawadir.
Kitab-kitab Dhahirriwayah ada 6
macam, yaitu Al Mabsuth, Al Jami'ul Kabir, Al Jami'ul Shaghir, Al Sijarul
Kabir, Al Shirajush Shaghir, Az Ziyadat
Keenam kitab ini telah dikumpulkan
oleh Abul Fadel al Marwazy yang dikenal dengan nama al Hakim asy Syahid (344 H)
dalam kitabnya Al Kafi. Kemudian, Al Kafi ini disyarahkan dalam kitab Al
Mabsuth oleh Syamsul a-immah Muhammad ibn Ahmad as Sarkasy yang wafat pada
akhir abad ke 5.
Zufaa ibn Hudzail ibn Qais al Kufy
(110 H-158 H) beliau terkenal sebagai seorang ahli qiyas yang terpandai dari
murid Abu Hanifah.
c.
Al Hasan ibn
Zijad al Lu'luy
Beliau belajar pada Abu Hanifah dan
meriwayatkan pendapatnya.Akan tetapi, para fuqaha tidak menyamakan riwayatnya
dengan riwayat oleh Muhammad ibn al Hasan pada kitad Dhahirriwayah. Diantara
kitabnya ialah Adabul Qalil, Ma'anil Iman, An nafaqat, dsb.
Pada masa sekarang ini, mazhab
Hanafi adalah mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria, dan Libanon. Mazhab inilah
yang dianut oleh sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan,
muslimin India dan Tiongkok. Lebih dari sepertiga muslimin di dunia juga
memakai mazhab ini (Ash Shiddiqy, 1967).
2.
Mazhab
Maliki
a.
Asal Usul
Mazhab Maliki
Mazhab Maliki merupakan salah satu
mazhab dari golongan sunni. Nama Mazhab ini dinisbatkan dari nama seorang ulama
Iman Malik bin Anas (93H-179H). Beliau lahir di Madinah dan menjadi ahli fiqh
yang terkenal. Ayah beliau adalah seorang pengrajin panah. Imam Maliki
termasuk orang yang sangat kuat hafalannya. Di usia remaja beliau mulai
menghapal Al-Quran dan menjadi Hafidz yang baik. Selain itu, beliau juga cepat
menghapal hadits yang diajarkan oleh para gurunya seperti Ibnu Syihab Az zuhri,
Ibnu Hurmuz, dan Nafi. Sementara guru beliau dalam bidang Fiqh adalah Rabiah
dan Yahya bin Sa’id al Anshari. Imam Maliki dikenal sangat hati hati dalam
meriwayatkan hadits. Imam Maliki pernah berkata :” Saya tidak member fatwa dan
meriwayatkan hadits sehingga 70 ulama membenarkan dan mengakui” (Amilia, 2005).
Pemikiran-pemikiran Imam Maliki
dapat dilihat dalam karyanya al-Muwaththa’, suatu kitab yang berisi tentang
hadits dan fiqh sekaligus. Khalifan Harun ar-Rasyid pernah menginginkan kitab
ini sebagai kitab hukum yang diterapkan dan berlaku di seluruh wilayah negeri tersebut,
namun keinginan itu tidak disetujui oleh Imam Malik. Imam Malik meninggal dunia
pada tahun 179 H di Madinah, karena sakit dan dimakamkan di al Baqi’ (Amilia,
2005).
b.
Dalil-dalil
yang digunakan oleh Mazhab Maliki
Metode pengajaran yang dilakukan
oleh Imam Maliki didasarkan pada ungkapan hadits dan pembahasan atas makna
maknanya lalu dikaitkan dengan konteks permasalahan yang ada pada saat itu.
Kadang, beliau juga menelaah masalah-masalah yang terjadi di daerah asal murid
muridnya, kemudian mencarikan hadits atau atsar-atsar (pernyataan sahabat) yang
bisa digunakan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Imam Malik sangat
menghindari spekulasi, oleh karenanya Madhzab Maliki dikenal sebagai Ahl al
hadits atau ahlul hadits (aliran).
Dalil dalil yang digunakan oleh
madzhab Maliki dalam menetapkan suatu hukum di antaranya;
1) Al-
Quran
Imam Maliki meletakkan Al Quran sebagai dalil dan
dasar tertinggi di atas dalil dalil yang lain.
2)
As-Sunnah
Imam Malik
menjadikan As-Sunnah sebagai dalil yang kedua setelah Al-Quran. Berbeda
dengan Imam Abu Hanifah yang mensyaratkan penggunaan As-Sunnah dengan
kualifikasi tertentu, Imam Malik meskipun menggunakan al Hadits yang mutawatir
dan masyuhr juga bisa menerima al-Hadits yang ahad sekalipun asalkan tidak
bertentangan dengan amal ahli Madinah.
3)
Amal ahli
Madinah (Praktik Masyarakat Madinah)
Imam Malik
berpendapat bahwa Madinah merupakan tempat Rasulullah SAW menghabiskan sepuluh
tahun akhir hidupnya, maka praktik yang dilakukan masyarakat Madinah mesti
diperbolehkan oleh Nabi SAW, atau bahkan bisa jadi dianjurkan oleh Nabi SAW
sendiri, oleh karena itu imam Malik menganggap bahwa praktik masyarakat Madinah,merupakan
bentuk As-Sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan.
Imam Malik lebih mendahulukan dan mengutamakan tradisi masyarakat Madinah ini
daripada hadits yang ahad.
4)
Fatwa
Sahabat
Seperti
halnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik juga menggunakan dan menjadikan fatwa
sahabat ini sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
5)
Al-Qiyas
Apabila
dalam praktik masyarakat Madinah dan fatwa para sahabat tidak ditemukan hukum
atas persoalan yang ada, maka Imam Maliki menggunakan Al-Qiyas.
6)
Al-Mashlahah
al-Mursalah
Al-Mashlahah
al Mursalah yakni menetapkan hukum atas berbagai persoalan yang tidak ada
petunjuk nyata dalam nash, dengan pertimbangan kemashlahatan, yang proses
analisisnya lebih banyak ditentukan oleh nalar Mujtahidnya.
7)
Al-Istihsan
Imam Malik
juga menggunakan Al-Istihsan sebagaimana pendahulunya, Imam Abu Hanifah.
8)
Adz-Dzari’ah
Secara
etimologi kata Adz-dzari’ah berarti sarana, sedangkan secara terminologi para
ahli ushul adalah sarana atau jalan untuk sampai pada suatu tujuan. Adapun
tujuan tersebut bisa berupa kebaikan yang berarti mashlahah dan bisa pula
maksiat yang berarti mafsadah. Apabila sarana tersebut membawa pada
kemaslahatan, maka harus dibuka peluang untuk melakukannya, dalam ilmu Ushul Fiqh
disebut fath adz-dzari’ah, sedangkan sarana yang membawa pada kemafsadatan,
maka harus ditutup jalan untuk sampai kepadanya, dalam ilmu Ushul Fiqh disebut
sad adz-dzari’ah. Imam Malik ketika menetapkan hukum dengan mempertimbangkan
kemungkinan kemungkinan yang akan timbul dari suatu perbuatan. Jika perbuatan
itu akan menimbulkan mafsadah meski hukum asalnya boleh, maka hukum perbuatan
tadi adalah haram. Sebaliknya, jika akan menimbulkan maslahah, maka hukum
perbuatan tadi tetap boleh atau bahkan dianjurkan atau bisa meningkat lagi
menjadi wajib.
c.
Para
Pengikut Mahzhab Maliki
Murid murid Imam Maliki antara lain
: Abd ar-Rahman bin Al- Qasim, Ibnu Wahab dan as-Syafii. Mazhab Maliki ini
sampai saat ini masih banyak pengikutnya dan mereka tersebar di beberapa negeri
antara lain Mesir, Sudan, Kuwait, Bahrain, Maroko dan Afrika (Amilia, 2005).
3.
Mazhab
Syafi’i
Mazhab syafii disusun oleh Muhammad
bin Idris bin Syafi’i. Beliau adalah keturunan bangsa Quraisy. Beliau
dilahirkan di Khuzzah tahun 150 hijriah, dan meninggal dunia di Mesir tahun 204
H. Sewaktu berumur 7 tahun, beliau telah hafal Al-Quran. Setelah berumur 10
tahun beliau hafal Al-Muwatta (kitab milik Imam Malik) (Rasjid, 2000). Setelah
beliau berumur 20 tahun, beliau mendapat izin dari gurunya (Muslim bin Khalid)
untuk berfatwa Kitab ”Ar-Risalah” yang dikarangnya dikenal sebagai kitab
pertama yang membahas Ushul Fiqh, sehingga beliau dikenal sebagai peletak ilmu
Ushul Fiqh. Beliau juga mengarang kitab Al-Umm dalam bidang fiqh (Hayder Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam
asy-Syafi’i. Keunggulan Imam asy-Syafi’i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan
hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya.
Sebagai orang
yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan
Ahlurra ’yi, Imam asy-Syafi ’i berupaya untuk mendekatkan pandangan
kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh
Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra’yi.
Prinsip dasar Mazhab
Syafi’i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam
buku ini asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa
contoh merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang). Dalam
menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari
Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW.
Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia
melakukan penelitian terhadap ijma’ sahabat.
Ijma’ yang
diterima Imam asy-Syafi’i sebagai landasan hukum hanya ijma’ para sahabat,
bukan ijma’ seperti yang dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh
mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma’
seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma’ tidakjuga ditemukan
hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya
sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi ’i tidak
seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai
salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara’ Penyebarluasan
pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali
melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm,
pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi ’i ini kemudian disebarluaskan dan
dikembangkan oleh para muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi ’i yang
terkemuka sebagai penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi’i adalah Yusuf bin
Yahya al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin
Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi ’i sebagai
pendukung kuat mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H.), yang
besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi ’i tersebut.
Landasan dari mazhab yang dibuat
oleh Syafi’i adala Al Quran, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Perkembangan mazhab
Syafii terdapat di sebagian negeri Mesir, Palestina, Yaman, sedikit terdapat di
Irak, Pakistan dan Saudi Arabia. Mazhab ini mayoritas dianut oleh Negara
Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam (Hayder, 2004).
4.
Mazhab
Hambali
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin
Hilal adalah penyusun mazhab Hambali, beliau dilahirkan di Baghdad dan
meninggal dunia pada hari jumat tanggal 12 RA tahun 241 H. Semenjak kecil
beliau belajar di Baghdad, Syam, Hijaz dan Yaman. Beliau adalah murid dari Imam
Syafi’i. Murid dari Ahmad bin Hanbal banyak dan terkemuka, diantaranya yaitu
Bukhari dan Muslim (Rasjid, 2000).
Ahmad bin Hanbal menyusun mazhab
berdasar 4 hal yaitu:
Dasar pertama adalah Al-Quran dan
Hadis. Dalam soal yang beliau hadapi, beliau selidiki ada atau tidaknya nas,
kalau ada beliau berfatwa menurut nas. Dasar kedua adalah fatwa sahabat. Dalam
satu peristiwa, apabila tidak ada nas yang bersangkutan dengan peristiwa itu,
beliau mencari fatwa dari sahabat. Apabila fatwa salah seorang sahabat tidak
memperoleh bantahan dari sahabat-sahabat lain maka ia menghukumkan berdasarkan
fatwa sahabat itu tadi. Jika fatwa itu berbeda antara beberapa sahabat, beliau
pilih yang lebih dekat pada kitab dan sunnah. Dasar ketiga adalah hadis mursal
atau lemah, apabila tidak bertentangan dengan dalil-dalil lain.
Dasar keempat adalah qiyas. Beliau tidak memakai qiya
kecuali apabila tidak ada jalan lain (Rasjid, 2000).
Beliau sangat hati-hati dalam
melahirkan fatwa, kehati-hatiannya itu yang menyebabkan mazhabnya lambat
tersebar ke daerah-daerah yang sangat jauh, apalagi murid-murid beliau juga
sangat berhati-hati (Rasjid, 2000). Mazhab Hambali banyak tersebar di Jazirah
Arab, di daratan Mesir serta di Damaskus (Syuriah) (Hayder, 2004). Para pengembang Mazhab Hanbali generasi awal (sesudah
Imam Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad
bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj
al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu
al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat
ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal,
dan masing-masing menyusun buku fiqh sesuai dengan prinsip dasar Mazhab Hanbali
di atas.
Tokoh lain yang berperan dalam
menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu
Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya setuju dengan
pendapat fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, mereka dikenal sebagai pengembang dan
pembaru Mazhab Hanbali. Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul Wahhab dalam
pengembangan dan penyebarluasan Mazhab Hanbali juga sangat besar. Pada
zamannya, Mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi Kerajaan Arab Saudi.
D. Perkembangan Ushul Fiqh
1.
Periode Rasullah
Di zaman Rasulullah
SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu
kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus
tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus
tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
Namun demikian juga
terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam
menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal
sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum
berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ
كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ
يَكُن
فِي
كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي
وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi
bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?,
ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi
bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya
putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau
temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan
penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufik atas diri utusan Rasulullah (HR. Bukhari).
Hadits ini secara
tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi mengembangkan Ilmu Ushul
Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan dalam
mengembangkan akal atau berijtihad, untuk menetapkan hukum yang belum tersurat
dalam Al-Quran dan Sunnah (Al-Hudhari. 1969).
2.
Periode Sahabat
Semenjak Nabi Saw
wafat, pengganti beliau adalah para sahabatnya. Pembinaan hukum Islam dipegang
oleh para pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan
Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu ijtihad telah mulai dikembangkan, yang pada
masa Nabi Saw tidak pernah mereka gunakan, terkecuali dalam permasalahan yang
amat sedikit.
Para sahabat
menggunakan istilah “al-Ra’yu”, istilah ini dalam pandangan sahabat seperti
yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam kitab I’lam al-Muwaqqi’in- adalah
sesuatu yang dilihat oleh hati setelah terjadi proses pemikiran, perenungan dan
pencarian untuk mengetahui sisi kebenaran dari permasalahan yang membutuhkan
penyelesaian. Al-Ra’yu dalam pengertian ini mencakup qiyas, istihsan dan
istishlah. Meskipun demikian mereka belum menamakan metode penggalian hukum
seperti ini dengan nama ilmu Ushul Fiqih, namun secara teori mereka telah
mengamalkan metodenya (Hasyim, Kamali. 1996).
3.
Periode Tabi’in Dan Imam Mazhab
Pada masa tabi’in,
tabi’it-tabi’in dan para imam mujtahid, di sekitar abad 2-3 Hijriyah wilayah
kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni
oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam
pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Dengan semakin tersebarnya
agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan
semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati
ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal
di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Dalam pada itu, pada
masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama
mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan
perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang
lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu
daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun
kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan
dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Dari pergaulan antara
orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan
bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun
dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang
demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan
dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun
kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara’
sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya
nash-nash tersebut (Syafi’I, Rahmad. 2007).
4.
Periode Imam Mujtahid sebelum Imam Syafii
Pada periode ini,
metode pengalihan hukum bertambah banyak, dengan demikian bertambah banyak pula
kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya. Imam Abu Hanafiah
an-Nu’man (80-150H). pendiri mazhab Hanafi. Dasar-dasar istinbatnya yaitu :
Kitabullah, sunah, fatwa (pendapat Sahabat yang disepakati), tidak berpegang
dengan pendapat Tabi’in, qiyas dan istihsan. Demikian pula Imam Malik bin Anas
(93-179H). pendiri mazhab Maliki. Di samping berpegang kepada Al-Qur’an dan
sunah, beliau juga banyak mengistinbatkan hukum berdasarkan amalan penduduk
Madinah. Pada masa ini, Abu hanifah dan Imam Malik tidak meningalkan buku ushul
fiqh (Chaerul, Umam. 2008).
E.
Persamaan
dan Perbedaan Sholat Menurut 4 Mazhab
Semua orang Islam sepakat bahwa
orang yang menentang kewajiban shalat wajib lima waktu atau meragukannya, ia
bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan syahadat, karena
shalat termasuk salah satu rukun Islam. (Mughniyah; 2001)
Para ulama
mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena
malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat itu wajib. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki dan Hambali : Harus dibunuh, Hanafi
: ia aharus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia shalat. (Mughniyah; 2001)
Rukun-rukun dan fardhu-fardhu shalat : (Mughniyah; 2001)
Rukun-rukun dan fardhu-fardhu shalat : (Mughniyah; 2001)
- Niat : semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta. (Mughniyah; 2001)
Ibnu Qayyim berpendapat dalam
bukunya Zadul Ma’ad, sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid pertama
dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut : Nabi Muhammad
saw bila menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan “Allahu akbar” dan
beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama
sekali. (Mughniyah; 2001)
2.
Takbiratul Ihram : shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul
ihram. Nama takbiratul ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah saw :
(Mughniyah; 2001)
“Kunci shalat adalah bersuci, dan yang
mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan
shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.”
Maliki dan Hambali
: kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar)
tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia). (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia). (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). (Mughniyah; 2001) Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab. (Mughniyah; 2001) Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli. (Mughniyah; 2001)
3.
Berdiri : semua ulama mazhab sepakat bahwa
berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai
ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat dengan duduk. Bila tidak
mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan, seperti letak
orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya,
menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi. Hanafi
berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan
menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud
tetap menghadap kiblat. (Mughniyah; 2001)
Dan bila tidak mampu miring ke
kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia boleh shalat
terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus
mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya. (Mughniyah; 2001) Hanafi : bila sampai pada tingkat ini
tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus
melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu
yang menghalanginya. (Mughniyah; 2001)
Maliki : bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya. (Mughniyah; 2001) Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi. (Mughniyah; 2001)
Maliki : bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya. (Mughniyah; 2001) Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi. (Mughniyah; 2001)
4.
Bacaan : ulama mazhab berbeda pendapat.
Hanafi : membaca
Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja
dari Al-Quran itu boleh, berdasarkan Al-Quran surat Muzammil ayat 20 :
(Mughniyah; 2001) ”Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul
Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya’rani, dalam bab shifatus
shalah). Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk
bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan.
Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca
dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan
bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu
tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan
dua tangan aalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila
meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang
kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah
meletakkan dua tangannya di atas dadanya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pad shlat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri. (Mughniyah; 2001)
Maliki : membaca Al-Fatihah itu harus pada setipa rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, serta qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu. (Mughniyah; 2001) Hambali : wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar. (Mughniyah; 2001)
Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : (Mughniyah; 2001)
”kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
Syafi’i : membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pad shlat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri. (Mughniyah; 2001)
Maliki : membaca Al-Fatihah itu harus pada setipa rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, serta qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu. (Mughniyah; 2001) Hambali : wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar. (Mughniyah; 2001)
Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : (Mughniyah; 2001)
”kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
5.
Ruku’ : semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’
adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau
tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua
anggota badan harus diam, tidak bergerak. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : yang
diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah.
Mazhab-mazhab yang lain : wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang
shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah
dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Hanafi, dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan : (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Hanafi, dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan : (Mughniyah; 2001)
Subhaana rabbiyal ’adziim
”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Hambali : membaca tasbih
ketika ruku’ adalah wajib. (Mughniyah; 2001) Kalimatnya menurut Hambali
:
Subhaana rabbiyal ’adziim
”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Hanafi : tidak
wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan
berdiri). (Mughniyah; 2001) Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu
makruh. Mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal,
serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan :
Sami’allahuliman hamidah
”Allah mendengar orang yang memuji-Nya”
6.
Sujud : semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud
itu wajib dilakukan dua kali pada setipa rakaat. Mereka berbeda pendapat
tentang batasnya. (Mughniyah; 2001)
Maliki, Syafi’i, dan Hanafi
: yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah
sunnah. (Mughniyah; 2001) Hambali : yang diwajibkan itu semua anggota
yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara
sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan.
(Mughniyah; 2001) Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah
di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di
dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak diwajibkan
duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di
antara dua sujud. (Mughniyah; 2001)
7.
Tahiyyat : tahiyyat di dalam shalat dibagi
menjadi dua bagian : pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua
rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri
dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam,
baik pada shalat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat. (Mughniyah; 2001)
Hambali : tahiyyat
pertama itu wajib. Mazhab-mazhab lain : hanya sunnah.
Syafi’i, dan Hambali : tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, dan Hambali : tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib. (Mughniyah; 2001)
Kalimat (lafadz) tahiyyat
menurut Hanafi :
Attahiyatu
lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah,
shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera”
’alaika
ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat
Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah
kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu
anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah”
Waasyhadu
anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad
adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Maliki (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu
lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah”
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah”
Assalaamu’alaika
ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai
Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa
wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah
kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad
adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Syafi’i : (Mughniyah;
2001)
Attahiyyatul
mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah
”Kehormatan, barakah-barakah,
shalawat, dan kebaikan adalah kepunyaan Allah”
Assalaamu’alaika
ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai
Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah
kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu
anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah”
Waasyhadu
anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad
adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Hambali : (Mughniyah;
2001)
Attahiyyatu
lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah,
juga shalawat dan kebaikan”
Assalaamu’alaika
ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai
Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa
wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah
kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu
anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu
anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad
adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Allahumma
sholli ’alaa muhammad
”Ya Allah, berikanlah shalawat
kepada muhammad”
8.
Mengucapkan salam (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki, dan Hambali
: mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi : tidak wajib. (Bidayatul
Mujtahid, Jilid I, halaman 126).
Menurut empat mazhab,
kalimatnya sama yaitu :
Assalaamu’alaikum
warahmatullaah
”Semoga kesejahteraan dan rahmat
Allah tercurah kepada kalian”
Hambali : wajib
mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu kali
saja yang wajib. (Mughniyah; 2001)
9.
Tertib : diwajibkan tertib antara bagian-bagian
shalat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan dari bacaan Al-Quran
(salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib didahulukan dari
ruku’, dan ruku’ didahulukan daru sujud, begitu seterusnya. (Mughniyah; 2001)
10. Berturut-turut
: diwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung,
juga antara satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah
langsung setelah bertakbir tanpa ada selingan. Dan mulai ruku’ setelah membaca
Al-Fatihah atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak
boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat, dan huruf-huruf.
(Mughniyah; 2001)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Mazhab
secara umum mengandung dua arti, pertama cara berpikir atau metode berijtihad
yang diterapkan oleh imam atau mujtahid untuk menentukan hukum suatu kasus
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Kedua, fatwa atau pendapat imam atau mujtahid
tentang suatu kasus atau peristiwa yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits.
2.
Luasnya
wilayah Islam di zaman Khalifah Umar bin Khattab membuat para tabiin dan
sahabat menyebar ke wilayah tersebut untuk menjadi hakim dan mufti. Masyarakat
belajar mengenai Islam serta belajar memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dari
mereka. Dua fakta yang mempengaruhi perkembangan fiqh di daerah itu adalah
pertama, millieu dan kedua, sistem yang ditempuh oleh fuqaha dalam memberikan
dan memetik hukum.
3.
Mazhab
Hanafi lahir di Kufah yang merupakan tempat lahirnya para fuqaha. Mazhab Hanafi
didirikan oleh Abu hanifah bersama murid-muridnya pada abad kedua hijrah di
akhir pemerintahan Amawiyah. Abu Hanifah adalah seorang imam yang terkemuka
dalam bidang Qiyas dan Istihsan. Dasar-dasar hukum fiqh mazhab Hanafi adalah
Al-Qur’an, As Sunah. Ijma, Qiyas, dan Istihsan. Mazhab Hanafi adalah mazhab
resmi di Mesir, Turki, Syiria, dan Libanon. Mazhab Maliki merupakan mazhab dari
golongan sunni. Nama Mazhab ini dinisbatkan dari Imam Malik bin Anas.
Dalil-dalil yang digunakan mazhab ini untuk menetapkan hukum berasal dari
Al-Qur’an, As-Sunnah, fatwa sahabat, qiyas, Al-Mashlahah al-Mursalah,
Al-Istihsan, dan Adz-Dzari’ah. Pengikut mazhab Maliki tersebar di beberapa
negeri antara lain Mesir, Sudan, Kuwait, Bahrain, Maroko dan Afrika.
Mazhab Syafi’i disusun oleh Muhammad
bin Idris bin Syafi’i. Landasan dari mazhab yang dibuat oleh Syafi’i adalah Al
Quran, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Perkembangan mazhab Syafii terdapat di
sebagian negeri Mesir, Palestina, Yaman, sedikit terdapat di Irak, Pakistan dan
Saudi Arabia. Mazhab ini mayoritas dianut oleh Negara Indonesia, Malaysia dan
Brunei Darussalam.
Mazhab Hambali disusun oleh Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal. Ahmad bin Hanbal menyusun mazhab ini
berdasar 4 hal yaitu Al-Quran dan Hadis, fatwa sahabat, hadis
mursal atau lemah apabila tidak bertentangan dengan dalil-dalil lain dan
qiyas. Pengikut mazhab Hambali banyak tersebar di Jazirah Arab, di
daratan Mesir serta di Damaskus (Syuriah).
4.
Secara garis
besar, ushul fiqh berkembang dalam empat periode. yaitu pada periode Rasullah, periode sahabat, periode Tabi’in serta Imam Mazhab, dan yang
terakhir periode Imam Mujtahid sebelum Imam Syafii.
5. Berdasarkan fiqh dari empat
mazhab tersebut terdapat persamaan dan perbedaan tata cara pelaksanaan amalan
ibadah tertentu salah satunya yakni mengenai fiqh sholat yang menjadi pedoman
bagi kaum muslim di berbagai belahan dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hudhari Byk.1969. Ushul al-Fiqh. Mesir: Maktabah tija’riyah
al-Kubro
Ash Shiddiqy, Hasbi. 1967. Pengantar
Ilmu Fiqh. Jakarta: CV Mulya.
Chaerul Umam.2008. Ushul fiqih 1. Bandung ; Pustaka Setia
Effendi, Djohan. 2010. Pembaruan
Tanpa Membongkar Tradisi. Jakarta: Media Kompas Nusantara.
Hayder, Abdullah. 2004. Mazhab
Fiqh, Kedudukan dan Cara Menyikapinya. Riyadh: Khalid ibn al waleed.
Hasim Kamali. 1996. Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam.
Pustaka Pelajar Offset
Mughniyah,
Muhammad Jawad. 2001. ”Fiqih Lima Mazhab”. Jakarta: Lentera.
Muttaqin,
Zainal, dkk. 1987. ”Pendidikan Agama Islam Fiqh”. Semarang: PT Karya
tiga Putra.
Rasjid, H.Sulaiman. 2000. Fiqh
Islam (Hukum Fiqh Lengkap). Bandung: PT Sinar Baru Algesindo.
Ridlwan,
Dahlan, dkk. 2005. ”Fiqh”. Jakarta : Media Ilmu.
Rifa’i, Mohammad. 1976. ”Risalah Tuntunan Shalat Lengkap”. Semarang : PT. Karya Toha
Putera.
Syafi’I,Rahmat.2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: cv pustaka
setia bandung
Internet:
0 komentar:
Posting Komentar